Saturday 29 March 2014

BAPTISAN PERCIK ATAU SELAM??

Baptisan telah menjadi amanat agung dari Yesus kepada muridNya.
Mat 28:19--'Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus.'

Artikel ini adalah pelengkap dari artikel tentang BAPTISAN
Namun, perdebatan apakah baptis mana yang benar sudah ada sejak dulu, dan sekarang menghangat kembali.

Dalam Katolik, jelas sekali, baik baptis percik atau selam, sama dan diakui, namun ada kalangan ekstremis yang ngotot baptis itu harus selam, berikut beberapa argumen tambahan kenapa tidak harus selam??


1.Ketika Paulus membaptis 3 orang didalam Kis 2:41 tecatat bahwa anggota Gereja bertambah 3.000 orang pada Pentakosta. Coba bayangkan berapa banyak waktu dan air yang diperlukan unutk mencelup orang sebanyak itu. Para arkeolog telah membuktikan bahwa tidak ada persediaan air di sekitar Yerusalem untuk mencelup 3.000 orang. Seandainya pun ada, kecil kemungkinan penduduk asli Yerusalem bersedia merelakan cadangan air mereka yang berharga untuk mencelup tubuh 3.000 orang lengkap dengan debu dan kotoran tubuh mereka. Kemungkinan besar mereka dibaptis dengan percik (atau curah)

2Pembaptisan Paulus, Pada Kis 9:18, diceritakan bahwa setelah dapat melihat, Paulus berdiri dan dibaptis. Paulus tidak diceritakan keluar rumah, mencari sungai lalu dicelup

3. Keadaan yang tidak memungkinkan, sekarang cobalah berpikir bagaimana bila seorang Kristen dihadapkan pada seseorang yang ingin dibaptis tetapi orang tersebut berada di gurun Sahara atau di Kutub Utara? Mungkin ilustrasi yang lebih mengena, misalkan seseorang yang terbaring tak berdaya di saat terakhir hidupnya memutuskan untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat dan ingin dibaptis. Bayangkan pula situasi penjara atau ruangan bawah tanah sementara penganiayaan terhadap Gereja berlangsung. Sebuah tragedi akan terjadi bila pembaptisan ditolak hanya karena tidak terdapat cukup air untuk mencelup tubuh bagian atas. Pada situasi ini, metode baptis yang tepat tentunya percik atau curah. Beberapa denominasi Protestan yang bersikukuh akan baptis selam rupanya juga berpandangan bahwa pembaptisan bukanlah syarat pertama seseorang unutk dipersatukan ke Tubuh Mistik Yesus sehingga dalam keadaan sulit seperti di atas, pembaptisan dapat dikesampingkan, yang penting orang tersebut mengakui dengan hatinya. Hal ini ditolak oleh Gereja Katolik.

Baptisan pada Gereja Perdana

Didache, sebuah karya mengenai Gereja Perdana, tidak termasuk kanon Kitab Suci meski demikian menghadirkan bukti sejarah penting mengenai kebiasaan Gereja Perdana. Didache ditulis sekitar tahun 70 M, saat para Rasul masih hidup sehingga dapat dipercaya kebenarannya. Didache mencatat:

"Concerning baptism, baptize in this manner: Having said all these things beforehand, baptize in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit in living water [that is, in running water, as in a river]. If there is no living water, baptize in other water; and, if you are not able to use cold water, use warm. If you have neither, pour water three times upon the head in the name of the Father, Son, and Holy Spirit."
Bukti arkeologis

Sebuah mosaik di katakombe melukiskan seseorang menerima baptisan dengan curah meski saat itu dia sedang berdiri di sungai. Masuk dan keluar dari air tidak bearti seseorang diselam. Baptis curah tetap dapat dilakukan di sungai dan nampaknya ini adalah praktik Gereja Perdana. 

Baptism, Katakombe St.Calistus, Roma

Hal-hal di atas mementahkan klaim beberapa denominasi Protestan bahwa baptis haruslah selam. Metode baptis ada tiga yaitu selam, curah dan percik. Ketiganya adalah sah. Kesimpulan lain yang harus dipegang adalah Sakramen Baptis adalah keharusan bagi keselamatan manusia.

Terakhir kita bisa melihat apa yang bapa-bapa Gereja katakan soal pembaptisan:

St. Hipolitus dari Roma dalam tulisan Tradisi Para Rasul yang ditulis pada tahun 215 M mengatakan, “Anak-anak haruslah dibaptis pertama kali. Semua anak yang dapat menanggapi [pembaptisan] untuk dirinya sendiri, hendaklah mereka menanggapinya. Bila ada anak-anak yang tidak dapat menanggapi [pembaptisan] untuk dirinya sendiri, hendaklah orang tua mereka menanggapinya untuk mereka, atau seseorang lain dari keluarga mereka.

ILUSTRASI KRISTEN- BERBAGI BUAH ROH

Bacaan : 1 Kor 12:27-13, 13:1-7.13, Gal 5:22-23

Kita coba memahami makna bacaan ini dengan ilustrasi pohon.
Ada pohon yang berbuah(lingkungan subur) dan ada yang tidak berbuah (lingkungan kurang subur). Dari mana datang buah-buah Roh yang disebut dalam Kitab Suci??
Mengapa buah Roh sulit untuk kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari??
Apa saja hambatan yang kita hadapi??

Apakah kita dapat mengatasi hambatan itu seorang diri??

Ibarat pipa atau keran, kita tidak bisa menerima jika kita tidak membukan dan membiarkan rahmat mengalir dari kita.

Jadi, maksud ayat di atas adalah,
*Setiap orang mempunyai karisma, karunia dan talenta dan dapat melakukan banyak hal dalam hidupnya. Namun, kita harus membagi rahmat itu agar hidup kita itu betul-betul bermakna, sehingga kita dapat mengatakan: " Tuhan, Kau telah menciptakan aku dengan segala potensiku. Terimalah yang terbaik dariku"

Mari kita lebih memahami dengan ilustrasi berikut, yakni tentang Laut Mati dan Laut Galilea.
Di Palestina terdapat dua laut yang sangat terkenal, yaitu Laut Galilea dan Laut Mati. Selain keduanya sama-sama terkenal, keduanya pun di aliri oleh air dari mata air yang sama, yakni mata air sungai Yordan.

Sungguhpun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang mencolok. Laut Galilea dikagumi banyak orang karena pemandangan di sekitarnya sangat indah, Bunga-bunga tumbuh subur di sana, ikannya banyak dan bermacam-macam, anak-anak kecil seringkali berenang di sana karena airnya yang jernih. Namun, Laut Mati di jauhi orang. Tidak satu pun binatang laut hidup di sana. Airnya sangat asin, dan hawa di sekitarnya sangat panas.

Mengapa demikian?? Karena Laut Galilea menerima dari mata air Sungai Yordan dan mengalirkannya ke laut lepas. Laut Mati juga menerima dari mata air Sungai Yordan, tetapi tidak mengalirkannya ke mana pun juga.

Bagi kita umat beriman, alam memberikan banyak pelajaran berharga. Untuk itu, hendaklah kita, satu sama lain, saling memberi dan menerima agar kita dapat hidup dan berguna bagi sesama kita. Kita telah menerima Roh Kudus, hendaknya kita juga dapat memanfaatkannya bagi orang lain.

Tuhan Yesus memberkati.. :)

Tuesday 25 March 2014

QADARIYAH DAN JABARIYAH SEBAGAI BUKTI KONTRADIKSI DALAM ISLAM


  •  
  •  
  • ü  Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan

    . Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah . Hadits tersebut berbunyi: الاْءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ artinya: “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.

    Dalam Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:
    Dalam surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
    “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”.

    Dalam surat Fushshilat ayat 40, Allah berfirman:
    “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

    Dalam surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
    “Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.

    Dengan demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.

    Hal ini sangat bertentangan dengan paham Jabariyah berikut ini berdasarkan ayat dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang melatar belakangi lahirnya faham jabariyah di antaranya:
    Dalam surat Ash-Shaffat ayat 96, Allah berfirman:
    “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.

    Dalam surat Al-An’am ayat 111, Allah berfirman:
    “Mereka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”.

    Dalam surat Al-Anfal ayat 17, Allah berfirman:
    “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.

    Ayat-ayat diatas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, manusia dalam paham jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan dan skenario serta kehendak Tuhan.

    JIKA INGIN BERDEBAT DENGAN ORANG ISLAM TENTANG TAKDIR ATAU PAHAM INI, MAKA TANYA DULU DIA ADA DI POSISI MANA. Bisa di jamin dia tidak akan mau secara terang-terangan mengatakannya karena dalam kaum Ahlusunah sendiri bisa menganut kedua paham ini dan anehnya bagaimana kedua paham yang bertentangan ini bisa berdiri dengan di tolerir.

    Berikut contoh diskusi membahasnya.
  • ü  Pengkhotbah Muda
    Saya mau tanya, apakah segala sesuatu yang dilakukan atau terjadi pada manusia adalah hasil predestinasi atau bukan?
  • ü  Arda Chandra Wah..saya kurang begitu paham soal istilah predestinasi, tolong sampaikan apa maksudnya..
  • ü  Pengkhotbah Muda Mereka yang percaya pada predestinasi, percaya bahwa sebelum Penciptaan, Allah telah menentukan nasib alam semesta di seluruh waktu dan ruang.
  • ü  Arda Chandra Artinya Tindakan 'menentukan segala sesuatu' tersebut ada dalam perspektif ketuhanan, bukan dalam perspektif kemanusiaan/makhluk.

    Dalam ajaran Islam, Allah tidak terikat ruang dan waktu sehingga setiap perbuatan atau keputusan-Nya tidak bisa dikatakan 'sesudah, sebelum, dulu, sekarang, nanti,,", karena semua istilah tersebut terikat dengan konsep waktu.

    Jadi kalau ada rumusan 'sebelum semuanya terjadi, Allah sudah menetapkan' itu merupakan kalimat yang diungkapkan oleh manusia dengan segala keterbatasannya.

    Istilah 'predestinasi' tidak cocok disematkan kepada perbuatan Allah, sebaliknya maun dikatakan 'tidak predestinasi' juga tidak cocok dikaitkan dengan tindakan Allah.

    Umat Islam hanya mempercayai bahwa segala yang terjadi tidak terlepas dari kehendak, kekuasaan, ijin Allah, soal apakah itu dikatakan suda h atau belum ditetapkan, kami tidak memikirkannya..
  • ü  Pengkhotbah Muda Allah telah menulis takdir semua makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi...(HR.MUSLIM)

    jadi, tanggapan bapak di atas tidak benar donk
  • ü  Pengkhotbah Muda Umat Islam hanya mempercayai bahwa segala yang terjadi tidak terlepas dari kehendak, kekuasaan, ijin Allah, soal apakah itu dikatakan suda h atau belum ditetapkan, kami tidak memikirkannya..
    ======================
    komen ini mengandung sesat pikir yang cukup cerdik. Ingin melarikan diri dari "tanggung jawab" istilahnya.
    Jika memang tidak memikirkan kapannya, maka barang tentu anda tidak akan bisa menentukan apakah itu benar atas kehendak atau ijin Allah, sebab sudah barang tentu kehendak dan perijinan itu berhubungan dengan waktu.
    Dan adalah juga salah jika menghubungkan ketidakterikatan Tuhan dengan jarak dan waktu dengan ketidakmungkinan menyimpulkan waktu kegiatan Allah. Sangat tidak relevan
  • ü  Arda Chandra Bukan cuma itu haditsnya bung Pengkhotbah Muda, tapi ada puluhan hadits lain misalnya :

    “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).

    Namun sebagai penyeimbang, ada banyak juga ayat Al-Qur'an dan hadist yang menunjukkan suatu peristiwa akan terjadi tergantung usaha yang dilakukan, misalnya ayat yang terkenal :

    Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra'd: 11)

    Ayat tersebut menyatakan secara jelas bahwa kehendak Allah tergantung kepada usaha manusia. Atau ayat lain :

    dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams 7-10)

    Jadi 'tersedia' banyak ayat dan hadits yang bisa mendukung pihak yang pro dan kontra dengan predestinasi (kalau dalam Islam disebut kelompok Qadariyah dan Jabariyah). Masing-masing akan memakai dalil yang sesuai dan tidak memakai dalil yang tidak sesuai. Jadi pertanyaan anda ini 'bukan barang baru' dalam dunia Islam.

    Yang jelas, kalau berdasarkan dalil tentang takdir, dua-duanya ada sehingga kita bisa merumuskan bahwa hubungan takdir dengan ketetapan Allah bukan merupakan sesuatu yang bisa dilihat 'hitam-putih', tapi perlu 'diangkat' lagi dalam pemikiran yang lebih tinggi, bahwa 'takdir' memang ada namun hal tersebut berada dalam perspektif Tuhan, bukan manusia..
    Tidak usah buru-buru dulu membuat kesimpulan karena diskusinya masih panjang..
  • ü  Pengkhotbah Muda
    ya, saya tahu, Qadariyah dan Jabariyah sudah ada sejak lama. Jadi, saya perlu klarifikasi dlu, anda di paham mana pak?
  • ü  Arda Chandra Anda mau mendiskusikan soal konsep takdir atau mau mengetahui saya ikut aliran yang mana bung Pengkhotbah Muda..? Bagaimana kalau pertanyaan anda yang tidak relevan ini disingkirkan saja dan kita lanjut berbincang-bincang soal konsep takdir. nanti setelah dapat gambaran jelas, anda bisa menyimpulkan sendiri saya ikut pemahaman yang mana..
  • ü  Pengkhotbah Muda Saya cukup tertarik dengan komen anda yang mengatakan bahwa takdir itu harus dipahami dalam perspektif Tuhan, emang seperti apa perspektif Tuhan mengenai takdir?
  • ü  Arda Chandra [[[Saya cukup tertarik dengan komen anda yang mengatakan bahwa takdir itu harus dipahami dalam perspektif Tuhan, emang seperti apa perspektif Tuhan mengenai takdir?]]]]

    bahwa takdir itu adalah sesuatu yang melekat kepada 'perbuatan' atau 'aktivitas' Tuhan. maka mengkaitkan takdir dengan dimensi waktu : sesudah, sebelum, nanti, dll tidak tepat disematkan kepada keberadaan takdir.

    Sudah saya sampaikan kelihatannya. Ini adalah pernyataan yang telak' dan sulit dibantah, silahkan anda tolak pernyataan ini :

    1. Tuhan adalah suatu eksistensi yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
    2. Takdir adalah suatu ketetapan Tuhan yang melekat dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan sehingga merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dengan 'aktivitas' Tuhan.
  • ü  Pengkhotbah Muda bahwa takdir itu adalah sesuatu yang melekat kepada 'perbuatan' atau 'aktivitas' Tuhan. maka mengkaitkan takdir dengan dimensi waktu : sesudah, sebelum, nanti, dll tidak tepat disematkan kepada keberadaan takdir.
    ==============================
    sepertinya yang anda sebutkan tersebut lebih cocok disebut nasib, bukan takdir sebab ada tertulis :“ tidak akan kurubah nasib seseorang, ketika ia sendiri tidak mau merubahnya “

    takdir dalam kbbi bersifat azali atau predestinasi :me·nak·dir·kan v (Tuhan) menentukan lebih dahulu (sejak semula):
  • ü  Pengkhotbah Muda bahwa takdir itu adalah sesuatu yang melekat kepada 'perbuatan' atau 'aktivitas' Tuhan. maka mengkaitkan takdir dengan dimensi waktu : sesudah, sebelum, nanti, dll tidak tepat disematkan kepada keberadaan takdir.
    ==========================
    sebenarnya ini sudah di bantah dengan HADITS MUSLIM yang saya kutip tadi...
  • ü  Arda Chandra
    Saya tidak mau bermain istilah. kalau anda menyatakan predestinasi = (Tuhan) menentukan lebih dahulu (sejak semula) maka saya tidak akan memakai istilah tersebut.

    Dalam Islam, takdir adalah suatu kejadian yang terkait dengan ketetapan dan kekuasaan Allah. Dan soal takdir ini termasuk dalam wilayah keimanan, salah satu dari 6 rukun iman, silahkan disimak haditsnya, saya kutip kalimatnya dengan memotong yang revan saja karena haditsnya panjang :

    Dia (malaikat Jibril) bertanya lagi, “Kabarkanlah kepadaku tentang iman?” Beliau (nabi Muhammad) menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk,” dia berkata, “Kamu benar.” (HR Muslim)

    Bentuk keimanan Muslim terhadap takdir adalah iman kepada KEBERADAAN/EKSISTENSI dari takdir, bukan soal apakah takdir tersebut sudah atau belum ditetapkan. Ini sebenatnya sama karakternya dengan beriman kepada Allah, karena tuntunan Islam tentang ini adalah 'iman kepada KEBERADAAN Allah', bukan kepada 'bentuk' Allah.

    Jadi aliran Qadariyah dan Jabariyah muncul karena mereka berusaha untuk 'menarik' takdir yang seharusnya berada pada domain Ketuhanan kepada domain kemanusiaan yang terikat ruang dan waktu. padahal untunannya bukan demikian..
  • ü  Arda Chandra [[[sebenarnya ini sudah di bantah dengan HADITS MUSLIM yang saya kutip tadi...]]]

    Tet tot..., sudah dijawab :

    Jadi 'tersedia' banyak ayat dan hadits yang bisa mendukung pihak yang pro dan kontra dengan predestinasi (kalau dalam Islam disebut kelompok Qadariyah dan Jabariyah). Masing-masing akan memakai dalil yang sesuai dan tidak memakai dalil yang tidak sesuai. Jadi pertanyaan anda ini 'bukan barang baru' dalam dunia Islam.

    Yang jelas, kalau berdasarkan dalil tentang takdir, dua-duanya ada sehingga kita bisa merumuskan bahwa hubungan takdir dengan ketetapan Allah bukan merupakan sesuatu yang bisa dilihat 'hitam-putih', tapi perlu 'diangkat' lagi dalam pemikiran yang lebih tinggi, bahwa 'takdir' memang ada namun hal tersebut berada dalam perspektif Tuhan, bukan manusia..
  • ü  Pengkhotbah Muda Jadi 'tersedia' banyak ayat dan hadits yang bisa mendukung pihak yang pro dan kontra dengan predestinasi (kalau dalam Islam disebut kelompok Qadariyah dan Jabariyah). Masing-masing akan memakai dalil yang sesuai dan tidak memakai dalil yang tidak sesuai. Jadi pertanyaan anda ini 'bukan barang baru' dalam dunia Islam.

    Yang jelas, kalau berdasarkan dalil tentang takdir, dua-duanya ada sehingga kita bisa merumuskan bahwa hubungan takdir dengan ketetapan Allah bukan merupakan sesuatu yang bisa dilihat 'hitam-putih', tapi perlu 'diangkat' lagi dalam pemikiran yang lebih tinggi, bahwa 'takdir' memang ada namun hal tersebut berada dalam perspektif Tuhan, bukan manusia..
    =============
    tetot..jawaban ini tidak nyambung, paragraf pertama tidak menyinggung tentang waktu sama sekali, sementara paragraf kedua sudah di bantah di ats
  • ü  Pengkhotbah Muda Saya tidak mau bermain istilah. kalau anda menyatakan predestinasi = (Tuhan) menentukan lebih dahulu (sejak semula) maka saya tidak akan memakai istilah tersebut.
    =-==============
    tidak ada yang bermain istilah. Adalah penting untuk menggunakan istilah yang tepat supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan debat kusir.
    Ya, sudah kalau anda tidak menggunakannya,silahkan pakai yang versi bahasa arab yang mengartikan takdir yang selama ini kita terjemahkan, dan apa makna kata tersbut dalam padanan bahasa Indonesia yang tepat
  • ü  Arda Chandra [[[tetot..jawaban ini tidak nyambung, paragraf pertama tidak menyinggung tentang waktu sama sekali, sementara paragraf kedua sudah di bantah di ats]]]

    Tidak nyambung gimana bung Pengkhotbah Muda..? anda mengutip hadits Muslim untuk dalil bahwa takdir sudah ditetapkan terlebih dahulu, saya sudah bantah bahwa banyak dalil yang mendukung pihak yang pro dan kontra predestinasi. Anda mau mengajukan dalil yang mendukung, saya juga mengajukan dalil yang menolak. Apakah saya harus bicara bahwa anda hanya mengungkapkan dalil dari salah satu pihak saja dan mengabaikan dalil dari pihak yang berseberangan..?
  • ü  Pengkhotbah Muda Anda selalu mengatakan ada bnyak hadits yang pro dan kontra predestinasi, sementara, saya cari2 di atas, anda sama sekali tidak menunjukkan satu hadits pun yang kontra predestinasi. Silahkan paparkan di sini pak untuk membuktikan klaim anda
  • ü  Arda Chandra
    Allah akan bukakan pintu doa dan menjadikannya sebagai penolak takdir dengan seizin-Nya. Ini bukan pendapat atau pengakuan seseorang, tetapi jelas diterangkan oleh nash hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, serta diakui keshahihannya oleh Adz Zhahabi.

    Nash (dalil) hadits yang dimaksud ialah hadits dari Sulaiman yang berkata,
    bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan Allah) kecuali doa dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan." (HR Tirmidzi dalam kitab sunannya)

    Kemudian, dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan: "Dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali berbuat kebaikkan. Tidak ada yang tidak dapat menolak takdir kecuali doa. Dan sesungguhnya seseorang laki-laki akan diharamkan baginya rezeki karena dosa yang diperbuatnya." (HR. Ibnu Majah dalam kitab sunannya).

    Ini juga termasuk hadits untuk merubah takdir :

    diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Annas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menginginkan agar diluaskan rezekinya dan dilambatkan ajalnya, hendaklah ia bersilaturahmi."

    Selain ayat-ayat Al-Qur'an yang sudah saya kutip diatas..
  • ü  Pengkhotbah Muda Nah, jika dengan adanya pro dan kontra demikian, jadi takdir tentang yang akan datang di Lauh Mahfuz itu tidak benar donk., sebab banyak takdir yang berubah,
  • ü  Arda Chandra dalil yang kontra predestinasi :

    Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S. Al-Kahfi 18:29)

    Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S.Ali Imran 3:165)

    Dalil yang pro predestinasi :

    QS ash-Shaffat: 96
    Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

    QS al-Anfal: 17
    Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka

    QS al-Insan: 30
    Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
  • ü  Pengkhotbah Muda Unik sekali bagaimana anda berani mempost pro dan kontra dalam Islam baik dari hadits maupun Alquran, apakah anda setuju adanya kontra di hadits dan Alquran?
  • ü  Arda Chandra [[[Nah, jika dengan adanya pro dan kontra demikian, jadi takdir tentang yang akan datang di Lauh Mahfuz itu tidak benar donk., sebab banyak takdir yang berubah,]]]]

    Apa itu lauh mahfudz..?? tidak seorangpun tahu bagaimana bentuknya. Apakah berupa tulisan seperti hanya buku..? atau berupa 'program interaktif' yang bisa berubah karena adanya 'input dan output..?? seperti halnya software komputer.

    Qurthubi mengatakan :

    "Menurut Tafsir Qurtubi, semua takdir makhluk Allah telah ditulis-Nya di Lauh Mahfuzh, bisa saja dihapus/diubah oleh Allah atau Allah menetapkan sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian yang dapat mengubah takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfuz itu hanya doa dan perbuatan baik/usaha. Nabi Muhammad bersabda: Tiada yang bisa mengubah takdir selain doa dan tiada yang bisa memanjangkan umur kecuali perbuatan baik. Lauh Mahfuzh akan kekal selamanya karena ia termasuk makhluk yang abadi"
  • ü  Arda Chandra [[[Unik sekali bagaimana anda berani mempost pro dan kontra dalam Islam baik dari hadits maupun Alquran, apakah anda setuju adanya kontra di hadits dan Alquran?]]]

    Pro dan kontar terjadi karena aliran tersebut telah 'menarik' persoalan takdir yang seharusnya merupakan domain ketuhanan menjadi domain makhluk. Sudah saya sampaikan sebelumnya..

    "Yang jelas, kalau berdasarkan dalil tentang takdir, dua-duanya ada sehingga kita bisa merumuskan bahwa hubungan takdir dengan ketetapan Allah bukan merupakan sesuatu yang bisa dilihat 'hitam-putih', tapi perlu 'diangkat' lagi dalam pemikiran yang lebih tinggi, bahwa 'takdir' memang ada namun hal tersebut berada dalam perspektif Tuhan, bukan manusia.."
  • ü  Arda Chandra
    Takdir HARUS DILETAKKAN pada perspektif Tuhan, bukan maksudnya bagaimana Tuhan menjelaskan soal takdir lalu harus ada firman Tuhan sendiri yang bicara soal takdir. Bukan itu maksudnya. PEERBUATAN takdir tersebut ada pada domain ketuhanan, karena merupakan 'aktivitas' Tuhan maka keberadaan takdir tidak terikat ruang dan waktu. Apakah jawaban ini kurang jelas buat anda karena kelihatannya anda hanya mengulang-ulang pertanyaan yang sama dan pasti akan saya ulangi lagi jawabannya..


  • ü  Arda Chandra Saya mau pamit dulu, silahkan disampaikan tangtgapan anda, dan silahkan dibaca-baca tulisan ini :

    Al-Qur’an menyebutkan bahwa surga merupakan sesuatu yang ‘diwariskan’ kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa, beberapa ayat yang menyatakan hal tersebut antara lain pada surat az-Zukhruf 72 al-Mu’minuun 10-11. Arti kata ‘waris’ umumnya dimaknai sebagai ‘sesuatu yang seharusnya dimanfaatkan oleh seseorang namun karena satu suatu sebab pemanfaatannya dialihkan kepada orang lain’, maka muncul pertanyaan :”Jadi milik siapa seharusnya surga yang telah diwariskan kepada orang beriman tersebut..?”.

    Para ulama menafsirkan bahwa semua manusia sebenarnya telah disediakan Allah ‘kapling’- nya masing-masing di surga maupun di neraka. Disaat manusia tersebut memilih untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah maka ketika dia masuk surga terjadi ‘serah-terima’ kapling yang sudah disediakan tersebut, ditambah dengan kaplingan orang lain yang bernasib sial tidak dapat memanfaatkannya. Mengapa orang lain tersebut tidak bisa memiliki surga yang sudah disediakan buat dirinya..?? karena dia telah memilih untuk ingkar kepada Allah sehingga masuk ke neraka, maka serah-terima terjadi untuk bagiannya di neraka yang memang sudah disediakan. Lalu karena tempat orang beriman di neraka tidak diisi disebabkan dia masuk surga, maka kaplingannya tersebut diwariskan kepada orang yang ingkar dan berdosa. Makanya dalam ayat yang lain Allah mengatakan : Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga. (Ar-Rahmaan: 46). Bahkan Allah menginformasikan surga yang diwariskan kepada orang yang beriman dan bertaqwa tersebut lebih dari satu : Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi (Ar-Rahmaan: 62).

    Informasi Al-Qur’an ini mengungkapkan soal takdir, memang benar bahwa ketika manusia berada didalam kandungan, Allah sudah menetapkan takdirnya :

    Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. [Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643]

    Perlu diketahui bahwa yang dinamakan ‘takdir’ seorang manusia berada dalam pengetahuan Allah, kita tentu saja bisa menerima kalau Allah mengetahui apapun nasib yang akan kita terima kelak, karena Dia memang Maha Mengetahui, namun karena takdir tersebut berada dalam pengetahuan Allah, dan Allah adalah suatu eksistensi yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, maka kita tidak bisa mengatakan takdir tersebut ‘telah’ ditetapkan dan ‘akan’ terjadi, karena hal tersebut sama saja artinya kita telah menempatkan pengetahuan Allah tersebut dalam konteks ruang dan waktu. Yang bisa kita terima dalam memahami takdir ini hanyalah : bahwa Allah mengetahui nasib yang kita jalani, cuma itu..

    Berikutnya, tidak ada diantara manusia yang mengetahui bagaimana nasibnya kelak, apakah dia masuk neraka atau surga. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan manusia bisa fokus terhadap perbuatan yang dilakukannya sekarang. Sejauh yang bisa diperkirakan, kita berusaha untuk menimbang semuanya dari jejak perbuatan yang kita lakukan. Seorang yang memilih untuk taat dan patuh kepada Allah memperkirakan kelak dirinya akan masuk surga, sebaliknya orang yang memilih untuk ingkar maka hati nuraninya akan berbicara tentang kemungkinan dia masuk neraka.

    Munculnya aliran-aliran Jabariyah dan Qadariyah tentang takdir, yang satu menyatakan posisi manusia yang tidak berbuat apa-apa terhadap nasib yang akan diterimanya kelak, dan sebaliknya menyatakan nasib manusia ditentukan oleh hasil usahanya sendiri dan Tuhan tidak ikut-campur, merupakan pemahaman yang ‘salah posisi’, karena telah melihat takdir dari sudut pandang pengetahuan Allah. Seharusnya sebagai manusia yang terkait dengan takdir tersebut, kita menempatkan diri sebagai manusia juga, yang memiliki pengetahuan dibatasi oleh ruang dan waktu, dan ketidak-tahuan kita terhadap bentuk takdir yang akan diterima kelak. Dengan menempatkan posisi demikian maka sikap yang muncul tentang takdir kita sendiri adalah : Kita meyakini Allah mengetahui apa yang akan kita alami nantinya, dan porsi kita adalah tidak memikirkan bagaimana hasilnya, melainkan berusaha untuk mendapatkan takdir yang terbaik untuk diri sendiri.
  • ü  Pengkhotbah Muda Takdir HARUS DILETAKKAN pada perspektif Tuhan, bukan maksudnya bagaimana Tuhan menjelaskan soal takdir lalu harus ada firman Tuhan sendiri yang bicara soal takdir. Bukan itu maksudnya. PEERBUATAN takdir tersebut ada pada domain ketuhanan, karena merupakan 'aktivitas' Tuhan maka keberadaan takdir tidak terikat ruang dan waktu. Apakah jawaban ini kurang jelas buat anda karena kelihatannya anda hanya mengulang-ulang pertanyaan yang sama dan pasti akan saya ulangi lagi jawabannya.
    ===================
    percuma saja anda mengulangnya krena jawaban anda tidak tepat sasaran.
    saya minta klarifikasi lagi tentang arti perspektif Tuhan dan domain Tuhan yang anda maksud?? Krn sesuai dengan kalimat anda mengindikasikan bahwa ayat2 tentang takdir tidak boleh di tafsir donk??
    Apa2an ini? Masak ayat tidak boleh di tafsir??
    Jelaskan itu dlu biar tidak jadi debat kusir
  • ü  Arda Chandra
    Menurut saya anda ssebenarnya sudah 'membentur tembok' dengan jawaban yang tidak akan bisa anda tolak ini :

    1. Tuhan adalah suatu eksistensi yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
    2. Takdir adalah suatu ketetapan Tuhan yang melekat dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan sehingga merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dengan 'aktivitas' Tuhan.

    dan yang tersisa hanya 'semangat' untuk mencari celah agar bisa mementahkannya, lalu satu-satunya jalan adalah melakukan ad nauseam (yang sudah merupakan hobby anda dalam berdiskusi sebelumnya).

    Saya tidak perlu mengulang lagi jawabannya, anda mau terima terserah anda, mau menolak juga urusan anda. saya yambahkan lagi soal perkembangan pemikiran terkait takdir ini dalam sejarah pemikiran Islam.

    Para ulama membedakan antara takdir (qadar) dengan nasib (qadha), ini penjelasan ringkas yang cukup mewakili pengertiannya :

    "Para ulama’ berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.

    Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadha’. Masalah ini (Qadha’) banyak sekali disebut dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah."

    kalau diamati maka sebenarnya tidak ada perbedaan objek dari istilah qadha dan qadar, hanya berbeda dalam prosesnya saja. Qadar/takdir itu sesuatu yang mash berada dalam ilmu/ide/kecerdasan Tuhan sedangkan qadha terkait dengan ide yang sudah diaplikasikan. Sebagai analogi misalnya seorang insinyur mau merancang desain sebuah mobil baru. Sebelum mobil tersebut diproses dipabrik, maka bentuknya sudah ada dalam otak si insinyur, lalu dia menggambarkannya diatas kertas, baru diproses dalam pabrik menjadi sebuah mobil. Bentuk desain antara yang ada di kepala, pada gambar dan bentuk nyatanya adalah sama.

    Demikian pula dengan takdir. Takdir berada pada ilmu/ide/kecerdasan Allah, lalu ketika terjadi maka takdir tersebut dikatakansebagai nasib/qadha. Bedanya adalah ide dalam otak manusia terikat dengan keberadaan manusia, artinya terikat dengan ruang dan waktu. Sedangkan takdir yang ada dalam ide/gagasan/ilmu/kecerdasan Allah berada dalam diri Allah, menyatu dengan-Nya dan tidak terikat ruang dan waktu.


  • ü  Pengkhotbah Muda Takdir HARUS DILETAKKAN pada perspektif Tuhan, bukan maksudnya bagaimana Tuhan menjelaskan soal takdir lalu harus ada firman Tuhan sendiri yang bicara soal takdir. Bukan itu maksudnya. PEERBUATAN takdir tersebut ada pada domain ketuhanan, karena merupakan 'aktivitas' Tuhan maka keberadaan takdir tidak terikat ruang dan waktu. Apakah jawaban ini kurang jelas buat anda karena kelihatannya anda hanya mengulang-ulang pertanyaan yang sama dan pasti akan saya ulangi lagi jawabannya..
    =================================
    jelas saja saya akan mengulang2nya terus, krn jawaban anda strawman melulu, bahkan sama sekali hanya memutar2 kalimat, bukan menjawab, seperti, "kenapa jawabannya ya? Yakni karena jawabannya bukan tidak"

    lets see :
    *saya tanya :bagaimana perspektif Tuhan yang anda maksud bung??
    *anda jawab :Takdir HARUS DILETAKKAN pada perspektif Tuhan, bukan maksudnya bagaimana Tuhan menjelaskan soal takdir lalu harus ada firman Tuhan sendiri yang bicara soal takdir..
    Tapi di kalimat berikutnya anda sama sekali tidak menjelaskan bagaimana perspektif Tuhan itu, melainkan anda mengulang kembali dengan state : maksudnya. PEERBUATAN takdir tersebut ada pada domain ketuhanan, karena merupakan 'aktivitas Tuhan .

    Saya mohon di jelaskan dengan gamblang arti " MELETAKKAN DALAM PERSPEKTIF TUHAN " yang anda maksud, dan tunjukkan bahwa perspektif anda dalam menjelaskan itu tidak berbenturan dengan apa yang sedang anda jelaskan.
    Melihat dari tulisan anda, seperitnya anda ini Qadariyah.Ma'bad Al jauhani adalah seoranga tabi'in yang menganut paham Qadariyah, yang akhirnya di bunuh sebab ada hadits berbunyi:
    الاْءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ artinya: “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.
  • ü  Pengkhotbah Muda Para ulama menafsirkan bahwa semua manusia sebenarnya telah disediakan Allah ‘kapling’- nya masing-masing di surga maupun di neraka. Disaat manusia tersebut memilih untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah maka ketika dia masuk surga terjadi ‘serah-terima’ kapling yang sudah disediakan tersebut, ditambah dengan kaplingan orang lain yang bernasib sial tidak dapat memanfaatkannya.
    ==========================
    argumen anda dan ulama anda berbenturan dengan ayat Dalam surat Al-An’am ayat 111, Allah berfirman:
    “Mereka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”.

    Jadi, memang bukan hanya sebatas rancangan, tapi sebuah keputusan final itu ada di tangan Tuhan, bukan seperti yang anda gambarkan selama ini, bahwa manusia bisa merubah takdirnya sendiri.

    Maka otomatis argumen anda yang ini : Mengapa orang lain tersebut tidak bisa memiliki surga yang sudah disediakan buat dirinya..?? karena dia telah memilih untuk ingkar kepada Allah sehingga masuk ke neraka,

    juga gugur
  •  
  • ü 

  •  
  •  

MENGUDUSKAN HARI TUHAN/SABAT ,APAKAH BOLEH BEKERJA??

Shalom...
Perintah untuk menguduskan hari Sabat, pada intinya adalah untuk mengkhususkan hari tersebut untuk Tuhan, dan menjadikannya sebagai hari istirahat.
KGK 2173    Injil memberitakan kejadian-kejadian, di mana Yesus dipersalahkan karena Ia melanggar perintah Sabat. Tetapi Yesus tidak pernah melanggar kekudusan hari ini (Bdk. Mrk 1:21; Yoh 9:16). Dengan wewenang penuh Ia menyatakan artinya yang benar: “Hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:2). Dengan penuh belas kasihan Kristus menuntut hak, supaya melakukan yang baik daripada yang jahat dan menyelamatkan kehidupan daripada merusakkannya pada hari Sabat (Bdk. Mrk 3:4). Hari Sabat adalah hari Tuhan yang penuh kasih dan penghormatan Allah (Bdk. Mat 12:5; Yoh 7:23). “Jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2:28).
Oleh karena prinsip inilah, maka Kristus menyembuhkan seorang yang sakit busung lapar pada hari Sabat (Luk 14:1-6), sebab menolong sesama yang menderita merupakan salah satu wujud nyata perbuatan kasih kepada sesama, atas dasar kasih kepada Tuhan. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan Yesus adalah penggenapan hukum Sabat dan bukan pelanggaran atas hukum Sabat.
Demikianlah, penggenapan hukum Taurat oleh Kristus tidak selalu sama dengan yang secara harafiah dipahami oleh bangsa Yahudi. Kristus menggenapinya dengan memberikan makna yang baru pada hukum Sabat (oleh karena itu disebut Perjanjian Baru) dengan kebangkitan-Nya pada hari pertama dalam minggu, yaitu pada hari Minggu, dan karenanya menandai hari Tuhan dengan hari pertama penciptaan, sebab mereka yang percaya kepada Kristus adalah ciptaan yang baru.
KGK 2174    Yesus telah bangkit dari antara oang mati pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1; Yoh 20:1). Sebagai “hari pertama”, hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama. Sebagai “hari kedelapan” sesudah hari Sabat (Bdk. Mrk 16:1; Mat 28:1), ia menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi warga Kristen, ia telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, “hari Tuhan” [he kyriake hemera, dies dominica], “hari Minggu”.
“Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus. Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini” (Yustinus, apol. 1,67).
KGK 2175     Hari Minggu jelas berbeda dari hari Sabat, sebagai gantinya ia – dalam memenuhi perintah hari Sabat – dirayakan oleh orang Kristen setiap minggu pada hari sesudah hari Sabat. Dalam Paska Kristus, hari Minggu memenuhi arti rohani dari hari Sabat Yahudi dan memberitakan istirahat manusia abadi di dalam Allah. Tatanan hukum mempersiapkan misteri Kristus dan ritus-ritusnya menunjukkan lebih dahulu kehidupan Kristus (Bdk. 1Kor 10:11).
“Mereka yang hidup menurut kebiasaan lama sampai kepada harapan baru dan tidak lagi menaati hari Sabat, tetapi hidup menurut hari Tuhan, pada hari mana kehidupan kita juga diberkati oleh Dia dan oleh kematian-Nya…” (Ignasius dari Antiokia, Magn. 9, 1).
KGK 2176     Perayaan hari Minggu berpegang pada peraturan moral, yang dari kodratnya telah ditulis dalam hati manusia: memberikan kepada Allah “satu penghormatan yang tampak, yang resmi dan yang teratur sebagai peringatan akan perbuatan baik dan umum, yang menyangkut semua manusia” (Tomas Aqu., s.th. 2-2,122,4). Perayaan hari Minggu memenuhi perintah yang berlaku dalam Perjanjian Lama, dengan mengambil irama dan semangatnya, di dalam merayakan Pencipta dan Penebus umat-Nya setiap minggu.
Di samping sebagai hari rahmat, hari tersebut juga merupakan hari istirahat:
KGK 2184    Sebagaimana Allah berhenti pada hari ketujuh, setelah Ia menyelesaikan seluruh pekerjaan-Nya” (Kej 2:2), demikianlah kehidupan manusia mendapat iramanya melalui pekerjaan dan istirahat. Adanya hari Tuhan memungkinkan bahwa semua orang memiliki waktu istirahat dan waktu senggang yang cukup untuk merawat kehidupan keluarganya, kehidupan kultural, sosial, dan keagamaan (Bdk. GS 67,3).
KGK 2185    Pada hari Minggu dan hari-hari pesta wajib lainnya, hendaknya umat beriman tidak melakukan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Tuhan atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga (Bdk. KHK, kan. 1247). Kewajiban-kewajiban keluarga atau tugas-tugas sosial yang penting memaafkan secara sah perintah mengikuti istirahat pada hari Minggu. Tetapi umat beriman harus memperhatikan bahwa pemaafan yang sah tidak boleh dijadikan kebiasaan yang merugikan penghormatan kepada Allah, kehidupan keluarga, dan kesehatan.
“Kasih akan kebenaran mendorong untuk mencari waktu senggang yang kudus; kasih persaudaraan mendesak untuk menerima pekerjaan dengan sukarela” (Agustinus, civ. 19,19).
KGK 2186    Warga Kristen yang mempunyai waktu luang, harus ingat akan saudara dan saudarinya, yang mempunyai kebutuhan dan hak yang sama, namun karena alasan kemiskinan dan kekurangan tidak dapat istirahat. Di dalam tradisi kesalehan Kristen, hari Minggu biasanya dipergunakan untuk karya amal dan pengabdian rendah hati kepada orang sakit, orang carat, dan orang lanjut usia. Orang Kristen hendaknya juga menguduskan hari Minggu dengan memperhatikan sanak-saudara dan sahabat-sahabatnya yang kurang mendapat perhatian mereka pada hari-hari lain dalam minggu. Hari Minggu adalah hari untuk permenungan, keheningan, pembinaan, dan meditasi yang memajukan pertumbuhan kehidupan Kristen.
KGK 2187    Pengudusan hari Minggu dan hari-hari pesta menuntut usaha bersama. Seorang Kristen harus berhati-hati, supaya jangan tanpa alasan mewajibkan seorang lain melakukan sesuatu yang dapat menghalang-halanginya untuk merayakan hari Tuhan. Juga apabila kegiatan-kegiatan (umpamanya yang bersifat olahraga dan ramah-tamah) dan kepentingan-kepentingan sosial (seperti pelayanan umum) menuntut, agar orang tertentu bekerja pada hari Minggu, tiap orang harus mencari waktu luang yang cukup untuk dirinya. Orang Kristen hendaknya berusaha dengan tenang dan penuh kasih, supaya menghindarkan kekacauan dan kekejaman, yang biasanya timbul dalam pergelaran-pergelaran massa. Kendati ada tuntutan ekonomi, para penguasa harus mengusahakan bagi para warganya waktu yang diperuntukkan bagi istirahat dan ibadat. Para majikan mempunyai kewajiban yang serupa terhadap karyawannya.
KGK 2188    Orang Kristen harus berusaha agar hari Minggu dan hari-hari pesta Gereja diakui sebagai hari libur umum, sambil memperhitungkan kebebasan beragama dan kesejahteraan umum bagi semua. Mereka harus memberi teladan publik mengenai doa, penghormatan, dan kegembiraan, dan membela adat kebiasaan mereka sebagai sumbangan yang sangat bernilai untuk kehidupan rohani dari masyarakat manusia. Seandainya perundang-undangan negara atau alasan-alasan lain mewajibkan orang bekerja pada hari Minggu, namun hari ini hendaknya tetap dirayakan sebagai hari penebusan kita, yang membuat kita mengambil bagian pada “suatu kumpulan yang meriah”, pada “jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di surga” (Ibr 12:22-23).
Dengan demikian, yang terpenting adalah, pada hari Minggu kita merayakan hari penebusan kita. Jika memungkinkan, maka Gereja menganjurkan agar kita beristirahat dari pekerjaan kita selama seminggu itu, dan mengkhususkan hari itu untuk Tuhan, untuk meluangkan waktu bagi keluarga dan sesama, dan untuk beristirahat. Jika karena satu dan lain hal kita terpaksa harus bekerja pada hari Minggu, tetap harus dipenuhi kewajiban kita untuk menguduskan hari Tuhan, yaitu dengan mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu, atau Sabtu malam sebelumnya. Selanjutnya silakan tetap diperhatikan ketentuan untuk menyediakan waktu untuk beristirahat dan memperhatikan sesama, terutama anggota keluarga. Mereka yang mempunyai karyawan perlu memperhatikan hal ini, yaitu untuk tidak menghalangi jika karyawan mereka mau beribadah pada hari Tuhan dan untuk memberikan hari istirahat kepada karyawannya.

SUMBER : KATOLISITAS.ORG